Minggu, 27 Oktober 2013

KAU KARMAKU

“Apa kabar?”

Hening.


“Sedang apa?”

Hening.


“Sudah makan?”

Hening.


“Semoga mimpi indah ya, sepertinya kau sudah mengantuk malam ini.”

Itupun hanya senyap yang menyapa.


Ini sudah 10 kali purnama. Atau tepatnya ini purnama ke 10. Semenjak ia memutuskan untuk menjauh dari kampung kami. Aku masih bermain dengan aksara yang berjejer rapi disebuah layar kecil. Memencet tuts beberapa hurut. Kemudian memencet tulisan send. Selanjutnya mereka mulai mengepakkan sayap melintasi angkasa, melewati laut Jawa, sebelum akhirnya sampai di tempat gadis itu, Bintang.


Aku yakin ia membaca pesanku. Sebab, aku tahu ia tak akan jauh-jauh dari benda mungil itu. 


"Aku akan membawa telepon genggam ini kemana-mana, Kak. Sebab dengan telepon genggam ini aku bisa sedikit mendekatkan jarak yang membentang diantara kita." Ujarnya dulu tepat sebelum beranjak pergi, berlayar jauh.


Boleh kutebak, mungkin saja pulsanya habis, atau sudah terlelap.

Meski aku tak yakin. Dentang waktu masih terlalu senja untuk membuatnya tertidur pulas.

Atau sedang sakit? Semoga tidak.


“Bintang...”


Aku masih mengurai prasangka tak jelas di sini. Kembali memencet beberapa huruf dan send. Sepuluh menit berlalu. Hening.

***

Aku tak pernah benar-benar menyukai purnama. Aku bahkan tak merasa bahwa benda yang bergelantung di langit kadang bulat kadang mencekung itu memiliki pesona. Selain berwarna putih terang, tak ada lagi yang mampu membuatku berdecak kagum. Sedangkan, semenjak Bintang berkenalan dengan purnama di umurnya yang ke 12, gadis bertubuh mungil itu selalu saja menyebut benda bulat di langit sebagai jelmaan sosok pangeran.


“Sebentar lagi purnama, Kak Wisnu. Jangan lupa ya, nanti kita harus lihat.”

Aku hanya tersenyum menatap wajahnya yang berbinar.


“Kakak tahu, menurut kepercayaan orang Jepang, jika ada dua orang memandang purnama di saat yang bersamaan, maka tidak peduli seberapa jauh kita terpisah dengannya, kita seolah bisa saling melihat wajah satu sama lain.”

Bintang melinting rambut lurusnya, sekilas nampak semu pipi tomat di wajah putih itu.


“Supaya kita bisa saling bertemu, meski esok lusa, bisa jadi, rentang waktu akan menjauhkan jarak kita.”


Kuhela nafas panjang. Aku tak tahu dari mana gadis kecil sepertinya mendapatkan kalimat sebagus itu. Mungkin dari semua buku yang sering ia baca. Tetapi perkataan itu membuat sudut hatiku melonjak riang karena telah menangkap sebuah isyarat. Bahwa aku mempunyai peran cukup baik di dalam kehidupannya.

***

“Bintang,lagi apa?”

Hening.


“Pasti lagi baca buku ya? Kemarin novel yang Kakak kirim udah selesai di baca belum?”

Hening.


Purnama masih tak bergeser dari peraduan. Aku menatap benda bulat penuh dengan wajah kebas. Hei, apakah kau telah mencuri semua bintangku? Dua malam ini hanya kau yang bertengger angkuh di sana. Aku mengoceh sebal pada purnama. Dan sepertinya ia mendengarku dengan baik. Sebab tak berselang lama, bulan menenggelamkan diri diantara ufuk yang mulai mengoranye.


“Aku tak bisa tidur. Apa kau sudah bangun fajar ini?”

Send.

***

“Kakak lebih menyukai bintang dari pada bulan.”

“Mengapa?” Mata bulatnya sempurna menempatkan kalimat tanya di wajah dengan ekspresi melongo. Meski begitu, tetap membuat gadis itu terkesan imut sekali.


 “Sebab bintang ada banyak. Jadi kalau Kakak petik satu tidak akan habis. Meski keindahannya sudah dinikmati berkali-kali, ia selalu muncul kembali.”

Keningnya berkerut. Sebelum kemudian senyum manis menggaris di bibir ranumnya.


“Aku juga suka bintang. Imut, kecil-kecil bisa bersinar terang ya.” Ia mendekap erat si Pion. Melemparkan pesona pada langit yang kini dipenuhi hal paling kami sukai.


“Iya imut sekali, Bintangku malam ini juga imut.” Rayuku. Ia hanya mengulum senyum malu-malu.


"Sejak sekolah aku paling tak suka pelajaran sejarah, sebab aku tak pandai menghafal. Tetapi jika kau bertanya sejarah apa yang paling kuingat, maka akan kujawab sejarah tentang kita."

Kali ini hanya riuh gerimis yang menyahut.


Bukankah malam itu kita masih seperti saudara, Bintang?  Aku berdesis pada angin malam yang menusuk hingga ke tulang.


Aku tak pernah lupa ketika ibu membawa seorang anak perempuan yang masih berkepang dua dulu. Malu-malu menyapaku, dan memperkenalkan Pion si boneka beruang yang besarnya sama seperti tinggi tubuh anak itu.


Kini rambut kepangnya sudah terurai, mereka sering melambai lembut tersapu angin ketika ia berdiri di pagar balkon rumah kami. Siluet wajah putih yang terbias sinar rembulan waktu itu menyadarkan kedewasaanku. Bintang selalu pantas untuk dicintai.

***

“Kata ibu besok Kak Wisnu mau ke Jakarta ya?”

“Iya, melanjutkan sekolah.”

“Jakarta itu sejauh apa sih Kak?”

“Emm..Kalau dari kampung kita mungkin naik angkot 3 kali, naik bus 2 malam, naik kapal 3 hari 2 malam, naik bus kali 6 jam. Baru sampai.”

Wajahnya menggembung. Seumpama balon yang hendak di tiup. Aku tak sanggup menahan tawa.


“Jauh sekali. Bintang sendirian di rumah.”

Tangannya melipat di dada. Melegoskan tubuh dari pandanganku.


“Hei, Bintang tak pernah sendiri. Baik ia di langit maupun di sini. Sebab Bintang selalu punya pesona yang bisa menyita perhatian seluruh alam untuk memperhatikan gerak-geriknya. Percayalah, sebentar lagi pasti ada yang mendekatimu.”

Aku mencubit lembut pipinya. Si gadis yang juga penyuka bunga mawar itu tetap mengatup rapat bibir.


“Bintang umur berapa ya sekarang?”

“14 tahun."

Nah, di sekolah pasti sudah banyak pujangga yang mendekatimu. Bintang pasti akan mudah punya pacar.”

Ia mendelik,  tiba-tiba menyerang dengan gelitikan bertubi-tubi yang membuat mataku mengembun. Jika aku tak menghentikan kedua tangan itu dengan mendekap tubuhnya erat, pasti gadis itu akan membuatku mati berdiri dengan gelitikan.


“Bintang nggak mau pacaran.”

“Loh, kenapa?”

“Soalnya, semua laki-laki sama aja. Nyebelin. Sukanya bikin janji palsu.”

Aku terbahak. Mengelus ubun-ubunnya.


“Kalau Kakak termasuk yang nyebelinkah?”


Hei, pipi itu merona lagi, seperti waktu pertama kali ia menunjukkan tentang indahnya purnama padaku.


“Kalau Kak Wisnu tidak.”

“Emm..mengapa?”

“Karena Kak Wisnu selalu membuat Bintang tersenyum dan tak pernah merasa sendiri.”

***

“Purnama sudah hampir tercuil, Bintang. Ini beranjak 6 hari sejak kehadirannya. Hei, apa kau sedang bersedu sedan sekarang? Melepas kepergian purnama seperti waktu dulu?”

Kini hanya suara jangkrik malam yang menjawab.


Ah, sudah berhari-hari terlewati tanpa balasan satu pun darinya. Aku sempat berfikir ia tengah disibukkan oleh tugas kuliah. Sebab kerap kali ia mengoceh ketika menghadapi dosen yang memberi tugas seperti mesin fotokopi. Aku hanya kebingungan mendengarnya menganggap dosen itu bertingkah seperti mesin fotokopi. Sebab ketika kutanya, ia hanya menjawab suka-suka Bintang mau mengibaratkannya seperti apa, Kak. Aku hanya mengangkat bahu mendengar suara cemprengnya dengan benda mungil ini, sekaligus membayangkan sketsa wajah yang merah padam menahan sebal di sebrang sana.


Sebelum semua terjadi. Sebelum semua menjadi hening.


Bintang kerap kali memajukan bibir 5 cm. Ketika di balkon setiap hari ke 6 setelah purnama tiba ia mendapati rembulan mulai terkikis pesona bulatnya.


“Kenapa sih Tuhan gak buat bulan bulat terus. Biar aku bisa ngeliatinnya juga terus.” Usiknya dengan tubuh yang dihempaskan pada sofa ruang tamu setelah menyapa rembulan dengan wajah manyun.


“Kalau bulan setiap hari bulat, Kakak gak bisa liat Bintang berekspresi seperti ini donk setiap kali menunggui sabit pada hari ke-6 sebelum purnama.” Ujarku, sembari menunjukkan ekspresi khas miliknya. Mata yang membundar, bibir yang terbuka lebar menampakkan geligi yang tersusun rapi, kemudian bergelantung dengan sikut di pagar balkon sembari mendekap Pion erat-erat. Aku menunjukkan dengan bergelantungan di badan sofa.


Hari itu, ia melempariku dengan bantalan, mengejar hingga memutari dapur. Untung saja ibu sedang pergi, jika tidak, kami berdua pasti sudah kena semprot. Dan kami siap menahan cekikikan hingga larut malam.

***

“Kau sebaiknya jangan mencintai gadis itu, Wisnu.” Suara lembut wanita di sampingku menusuk hingga relung. Ibu menyadari gelagatku, yang belakangan memberikan perhatian lebih padanya. Dan terjadilah percakapan itu di kamar, diam-diam.


“Kenapa,Bu?”

 “Ibu tak ingin kalian tersakiti oleh kenyataan, khususnya kau, Wisnu.”

 “Kenyataan apa ibu? Bukankah Bintang dan aku bukan saudara kandung?” Aku membantah,  karena tak ada alasan yang dapat melarangku jatuh cinta padanya bukan?


“Dunia selalu memiliki rahasia, Wisnu. Dan rahasia ini sungguh akan membuat kau mengecap pahit. Kau akan mengetahuinya nanti.”


Pernyataan ibu tak memuaskan jawabanku. Ibu berlenggang begitu saja. Kenapa aku tak boleh mencintainya? Gadis pecinta purnama yang telah lama hidup bersama. Menjelma sebagai adik satu-satunya, sekaligus menjadi cinta pertama sejak umur kami masih 15 dan 9 tahun.


“Kakak jangan sampai jatuh cinta dengan Bintang lho!” Aku tersentak, Bintang berucap tepat setelah aku menjawab pertanyaannya seputar cinta. Pernyataan itu menunjukkan seolah ia dapat membaca isi hatiku yang masih terngiang perkataan ibu senja tadi. Aku menatap wajah gadis yang sedang tersenyum dengan mata penuh tanda tanya.


“Soalnya kita kan saudara.” Ia mencubit hidungku, kemudian berlalu. Meninggalkanku yang sempurna mendesah kesal.


Aku masih terdiam di sofa hingga larut malam. Sebentar berganti posisi berbaring,sebentar terkurap. Terduduk, terlentang lagi. Hhh..apanya yang salah, jika mencintai seseorang. Toh ini bukan cinta terlarang, bukan? Aku menyampaikan tanya pada langit-langit ruang tamu. Dan lagi-lagi, hanya sunyi.

***

Di hari kali pertama aku tahu Bintang terlahir dari seorang wanita tunasusila, aku tergugu. Ibunya bekerja malam di tempat yang tak jauh dari perkampungan di pelosok Kalimantan Barat. Kampung Cempedak. Aku tak pernah sadar jika kampung yang kuhuni telah menyimpan banyak wanita kupu-kupu.


Petang itu ibu mendapati seorang anak gadis di remang lampu pojok jalan buntu dengan seorang lelaki. Ibu menyadari tingkah gila lelaki -yang ternyata juga pembeli wanita malam- tega ingin merengkuh kegadisannya yang masih sangat belia. Dengan cepat ibu melempari lelaki bajingan itu dengan bebatuan pinggir jalan.


Pantas saja Bintang selalu menomer satukan ibu. Sebab, ia merasa telah berhutang padanya.


Dan seakan ribuan belati tepat menikam ulu hati, sewaktu mendengar ibu mengatakan ayah lah penyabab semua itu. Si germo yang telah menjebak para gadis, termasuk ibunya.


Bintang mengetahuinya beberapa hari sebelum purnama kelima tiba. Ibu mengirimkan sebuah surat untuk membeberkan kenyataan tentang ayah tanpa sepengetahuanku. Ibu sudah tak sanggup menyimpan rahasia terlalu lama padanya.


Semenjak itulah, semua menjadi hening.
Aku menyngaja segera kembali dari Jakarta untuk menunggu dan menemuinya. Tetapi dengan kenyataan seperti ini membuat jalanku semakin sulit.


Sudah kuhantar ribuan maaf pada gadis purnama itu. Sebab, tak pernah tahu sudah sejak lama ia hidup tersiksa di penampungan yang menjijikkan akibat ulah ayah. Namun tak satupun permintaan maafku punya kepastian. Mungkin karena permintaan maaf itu terlampau sederhana, hanya berbekal sederet tulisan saja.



“Sudah malam keberapa sekarang sejak purnama pergi? Aku semakin lelah menghitung hari. Sungguh, bukan karena aku tak sanggup menunggumu berbaik hati memaafkan kesalahan ayah. Sebab aku tak sanggup menuai rindu, untuk menjumpaimu.”

Hening.


“Tak bisakah jika kita menjauhkan masa lalu, aku mencintaimu.”

Hening.


Hening.


Hening.

***

Ini purnama ke 20. Sudah 20 purnama kujejaki di pelosok kampung Cempedak. Sendiri. Sebenarnya berdua, bersama ibu yang sudah semakin senja. Bintang tak pernah kembali, entah, mungkin ia masih marah pada kami. Telah begitu lama menyimpan rahasia besar tentang siapa lelaki biadab yang membuatnya lahir dari rahim seorang wanita tanpa ayah.


“Kau sudah berumur Wisnu. Ibu rindu menimang cucu. Kapan kau akan membawa kekasih hatimu kemari?”

Aku memijat ibu yang berbaring di atas dipan. Tak mampu kujawab pertanyaan itu. Sebab, kekasih hatiku tak pernah berubah sejak dulu.


“Apa kau masih menunggu Bintang, Nak?” Aku hanya tersenyum kecut.


Maafkan aku ibu, aku benar-benar tak bisa menjawab. Bukan karena aku tak ingin mengiyakan pertanyaan itu. Tetapi kebenaran itu, telah menyakitiku selama belasan tahun. Dan kini kebenaran itu pun hampir membunuhku.

Untunglah percakapan bersegera terhenti. Ibu telah terlelap. Aku menuju balkon rumah, menemui purnama yang sudah duduk manis di langit.


Hei, sekarang langit juga di penuhi bintang-bintang. Kalau kau masih di sini, kau pasti akan membuat ekspresi itu. Dengan decak kagum yang tak henti-henti. Bahkan sampai kau bawa hingga ke alam mimpi. Desahku pada keheningan.


Kutatap benda kecil yang telah lama menghubungkanku dengan si pemilik senyum manis itu. Sudah hampir 2 tahun semenjak Bintang memilih untuk kuliah di Jawa. Ibu benar, ia gadis cerdas. Ia telah berlabuh di sana sendiri, tanpa bantuan sepeserpun dari kami. Beasiswa yang benar-benar mebumbung tinggi impiannya.


“Aku merindukanmu.”


Kututup mataku sejenak. Ah, ini benar-benar kenyataan terpahit di umur yang sudah hampir kepala tiga.

Benda mungil ini tiba-tiba bergetar. Aku terkejut. Melihat namanya terpampang manis di layar kuning itu. Gadis itu membalas setelah sekian lama. Tanpa ba bi bu, aku membuka dan membacanya dengan hati menggebu.


“Kak, sudah terima surat dari Bintang kan? Maafkan, Bintang sudah menikah.”


Aku ambruk. Bukan karena kenyataan itu. Aku jelas telah menerima surat darinya beserta tiket ke Jawa yang terselip di dalam sejak 5 hari yang lalu. Ia meminta kami datang, tetapi aku tak ingin memberitahukan soal ini pada ibu. Aku terlampau takut menghadapi kenyataan.


Aku telah benar-benar mati oleh perasaanku sendiri. Menangis tersedu di balkon, tanpa malu pada ribuan bintang dan purnama yang menyaksikan dengan tatapan masygul.


“Ada apa Wisnu?”

Ibu terbangun mendengar isak tangisku, bergegas menghampiri dan memeluk erat. Aku hanya mendengar samar ibu mengambil benda kecil itu. Mendesah, kemudian mendekapku kian erat.


“Nak, ibu tak ingin percaya karma. Tetapi malam ini, apakah karma telah jatuh padamu? Ayahmu yang telah begitu kejam menjajakan banyak cinta tanpa peduli tentang luka mereka dulu. Sekarang kau, anak ibu justru tersakiti oleh satu cinta. Satu cinta saja.”


Ini malam terakhir aku menyukai purnama, Bintang. Seharusnya sejak dulu aku tak perlu menemanimu untuk melihat purnama. Sebab pepatah jepang itu benar, aku tak bisa berhenti melihat wajahmu disana.

Dan sejak dulu, sebaiknya aku tidak mencintaimu. Ujarku lirih, selaksa angin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ppt UAS