“Semoga mimpi indah ya, sepertinya kau sudah mengantuk malam ini.”
Itupun hanya senyap yang menyapa.
Ini
sudah 10 kali purnama. Atau tepatnya ini purnama ke 10. Semenjak ia
memutuskan untuk menjauh dari kampung kami. Aku masih bermain dengan
aksara yang berjejer rapi disebuah layar kecil. Memencet tuts beberapa
hurut. Kemudian memencet tulisan send. Selanjutnya mereka mulai
mengepakkan sayap melintasi angkasa, melewati laut Jawa, sebelum
akhirnya sampai di tempat gadis itu, Bintang.
Aku yakin ia membaca pesanku. Sebab, aku tahu ia tak akan jauh-jauh dari benda mungil itu.
"Aku
akan membawa telepon genggam ini kemana-mana, Kak. Sebab dengan telepon
genggam ini aku bisa sedikit mendekatkan jarak yang membentang diantara
kita." Ujarnya dulu tepat sebelum beranjak pergi, berlayar jauh.
Boleh kutebak, mungkin saja pulsanya habis, atau sudah terlelap.
Meski aku tak yakin. Dentang waktu masih terlalu senja untuk membuatnya tertidur pulas.
Atau sedang sakit? Semoga tidak.
“Bintang...”
Aku masih mengurai prasangka tak jelas di sini. Kembali memencet beberapa huruf dan send. Sepuluh menit berlalu. Hening.
***
Aku
tak pernah benar-benar menyukai purnama. Aku bahkan tak merasa bahwa
benda yang bergelantung di langit kadang bulat kadang mencekung itu
memiliki pesona. Selain berwarna putih terang, tak ada lagi yang mampu
membuatku berdecak kagum. Sedangkan, semenjak Bintang berkenalan dengan
purnama di umurnya yang ke 12, gadis bertubuh mungil itu selalu saja
menyebut benda bulat di langit sebagai jelmaan sosok pangeran.
“Sebentar lagi purnama, Kak Wisnu. Jangan lupa ya, nanti kita harus lihat.”
Aku hanya tersenyum menatap wajahnya yang berbinar.
“Kakak
tahu, menurut kepercayaan orang Jepang, jika ada dua orang memandang
purnama di saat yang bersamaan, maka tidak peduli seberapa jauh kita
terpisah dengannya, kita seolah bisa saling melihat wajah satu sama
lain.”
Bintang melinting rambut lurusnya, sekilas nampak semu pipi tomat di wajah putih itu.
“Supaya kita bisa saling bertemu, meski esok lusa, bisa jadi, rentang waktu akan menjauhkan jarak kita.”
Kuhela
nafas panjang. Aku tak tahu dari mana gadis kecil sepertinya
mendapatkan kalimat sebagus itu. Mungkin dari semua buku yang sering ia
baca. Tetapi perkataan itu membuat sudut hatiku melonjak riang karena
telah menangkap sebuah isyarat. Bahwa aku mempunyai peran cukup baik di
dalam kehidupannya.
***
“Bintang,lagi apa?”
Hening.
“Pasti lagi baca buku ya? Kemarin novel yang Kakak kirim udah selesai di baca belum?”
Hening.
Purnama masih tak bergeser dari peraduan. Aku menatap benda bulat penuh dengan wajah kebas. Hei, apakah kau telah mencuri semua bintangku? Dua malam ini hanya kau yang bertengger angkuh di sana.
Aku mengoceh sebal pada purnama. Dan sepertinya ia mendengarku dengan
baik. Sebab tak berselang lama, bulan menenggelamkan diri diantara ufuk
yang mulai mengoranye.
“Aku tak bisa tidur. Apa kau sudah bangun fajar ini?”
Send.
***
“Kakak lebih menyukai bintang dari pada bulan.”
“Mengapa?” Mata bulatnya sempurna menempatkan kalimat tanya di wajah dengan ekspresi melongo. Meski begitu, tetap membuat gadis itu terkesan imut sekali.
“Sebab
bintang ada banyak. Jadi kalau Kakak petik satu tidak akan habis. Meski
keindahannya sudah dinikmati berkali-kali, ia selalu muncul kembali.”
Keningnya berkerut. Sebelum kemudian senyum manis menggaris di bibir ranumnya.
“Aku
juga suka bintang. Imut, kecil-kecil bisa bersinar terang ya.” Ia
mendekap erat si Pion. Melemparkan pesona pada langit yang kini dipenuhi
hal paling kami sukai.
“Iya imut sekali, Bintangku malam ini juga imut.” Rayuku. Ia hanya mengulum senyum malu-malu.
"Sejak
sekolah aku paling tak suka pelajaran sejarah, sebab aku tak pandai
menghafal. Tetapi jika kau bertanya sejarah apa yang paling kuingat,
maka akan kujawab sejarah tentang kita."
Kali ini hanya riuh gerimis yang menyahut.
Bukankah malam itu kita masih seperti saudara, Bintang? Aku berdesis pada angin malam yang menusuk hingga ke tulang.
Aku
tak pernah lupa ketika ibu membawa seorang anak perempuan yang masih
berkepang dua dulu. Malu-malu menyapaku, dan memperkenalkan Pion si
boneka beruang yang besarnya sama seperti tinggi tubuh anak itu.
Kini
rambut kepangnya sudah terurai, mereka sering melambai lembut tersapu
angin ketika ia berdiri di pagar balkon rumah kami. Siluet wajah putih
yang terbias sinar rembulan waktu itu menyadarkan kedewasaanku. Bintang
selalu pantas untuk dicintai.
***
“Kata ibu besok Kak Wisnu mau ke Jakarta ya?”
“Iya, melanjutkan sekolah.”
“Jakarta itu sejauh apa sih Kak?”
“Emm..Kalau
dari kampung kita mungkin naik angkot 3 kali, naik bus 2 malam, naik
kapal 3 hari 2 malam, naik bus kali 6 jam. Baru sampai.”
Wajahnya menggembung. Seumpama balon yang hendak di tiup. Aku tak sanggup menahan tawa.
“Jauh sekali. Bintang sendirian di rumah.”
Tangannya melipat di dada. Melegoskan tubuh dari pandanganku.
“Hei,
Bintang tak pernah sendiri. Baik ia di langit maupun di sini. Sebab
Bintang selalu punya pesona yang bisa menyita perhatian seluruh alam
untuk memperhatikan gerak-geriknya. Percayalah, sebentar lagi pasti ada
yang mendekatimu.”
Aku mencubit lembut pipinya. Si gadis yang juga penyuka bunga mawar itu tetap mengatup rapat bibir.
“Bintang umur berapa ya sekarang?”
“14 tahun."
Nah, di sekolah pasti sudah banyak pujangga yang mendekatimu. Bintang pasti akan mudah punya pacar.”
Ia
mendelik, tiba-tiba menyerang dengan gelitikan bertubi-tubi yang
membuat mataku mengembun. Jika aku tak menghentikan kedua tangan itu
dengan mendekap tubuhnya erat, pasti gadis itu akan membuatku mati
berdiri dengan gelitikan.
“Bintang nggak mau pacaran.”
“Loh, kenapa?”
“Soalnya, semua laki-laki sama aja. Nyebelin. Sukanya bikin janji palsu.”
Aku terbahak. Mengelus ubun-ubunnya.
“Kalau Kakak termasuk yang nyebelinkah?”
Hei, pipi itu merona lagi, seperti waktu pertama kali ia menunjukkan tentang indahnya purnama padaku.
“Kalau Kak Wisnu tidak.”
“Emm..mengapa?”
“Karena Kak Wisnu selalu membuat Bintang tersenyum dan tak pernah merasa sendiri.”
***
“Purnama
sudah hampir tercuil, Bintang. Ini beranjak 6 hari sejak kehadirannya.
Hei, apa kau sedang bersedu sedan sekarang? Melepas kepergian purnama
seperti waktu dulu?”
Kini hanya suara jangkrik malam yang menjawab.
Ah,
sudah berhari-hari terlewati tanpa balasan satu pun darinya. Aku sempat
berfikir ia tengah disibukkan oleh tugas kuliah. Sebab kerap kali ia
mengoceh ketika menghadapi dosen yang memberi tugas seperti mesin
fotokopi. Aku hanya kebingungan mendengarnya menganggap dosen itu
bertingkah seperti mesin fotokopi. Sebab ketika kutanya, ia hanya
menjawab suka-suka Bintang mau mengibaratkannya seperti apa, Kak.
Aku hanya mengangkat bahu mendengar suara cemprengnya dengan benda
mungil ini, sekaligus membayangkan sketsa wajah yang merah padam menahan
sebal di sebrang sana.
Sebelum semua terjadi. Sebelum semua menjadi hening.
Bintang
kerap kali memajukan bibir 5 cm. Ketika di balkon setiap hari ke 6
setelah purnama tiba ia mendapati rembulan mulai terkikis pesona
bulatnya.
“Kenapa sih Tuhan gak buat bulan bulat terus.
Biar aku bisa ngeliatinnya juga terus.” Usiknya dengan tubuh yang
dihempaskan pada sofa ruang tamu setelah menyapa rembulan dengan wajah
manyun.
“Kalau bulan setiap hari bulat, Kakak gak bisa
liat Bintang berekspresi seperti ini donk setiap kali menunggui sabit
pada hari ke-6 sebelum purnama.” Ujarku, sembari menunjukkan ekspresi
khas miliknya. Mata yang membundar, bibir yang terbuka lebar menampakkan
geligi yang tersusun rapi, kemudian bergelantung dengan sikut di pagar
balkon sembari mendekap Pion erat-erat. Aku menunjukkan dengan
bergelantungan di badan sofa.
Hari itu, ia
melempariku dengan bantalan, mengejar hingga memutari dapur. Untung saja
ibu sedang pergi, jika tidak, kami berdua pasti sudah kena semprot. Dan
kami siap menahan cekikikan hingga larut malam.
***
“Kau
sebaiknya jangan mencintai gadis itu, Wisnu.” Suara lembut wanita di
sampingku menusuk hingga relung. Ibu menyadari gelagatku, yang
belakangan memberikan perhatian lebih padanya. Dan terjadilah percakapan
itu di kamar, diam-diam.
“Kenapa,Bu?”
“Ibu tak ingin kalian tersakiti oleh kenyataan, khususnya kau, Wisnu.”
“Kenyataan
apa ibu? Bukankah Bintang dan aku bukan saudara kandung?” Aku
membantah, karena tak ada alasan yang dapat melarangku jatuh cinta
padanya bukan?
“Dunia selalu memiliki rahasia, Wisnu. Dan rahasia ini sungguh akan membuat kau mengecap pahit. Kau akan mengetahuinya nanti.”
Pernyataan
ibu tak memuaskan jawabanku. Ibu berlenggang begitu saja. Kenapa aku
tak boleh mencintainya? Gadis pecinta purnama yang telah lama hidup
bersama. Menjelma sebagai adik satu-satunya, sekaligus menjadi cinta
pertama sejak umur kami masih 15 dan 9 tahun.
“Kakak
jangan sampai jatuh cinta dengan Bintang lho!” Aku tersentak, Bintang
berucap tepat setelah aku menjawab pertanyaannya seputar cinta.
Pernyataan itu menunjukkan seolah ia dapat membaca isi hatiku yang masih
terngiang perkataan ibu senja tadi. Aku menatap wajah gadis yang sedang
tersenyum dengan mata penuh tanda tanya.
“Soalnya kita kan saudara.” Ia mencubit hidungku, kemudian berlalu. Meninggalkanku yang sempurna mendesah kesal.
Aku masih terdiam di sofa hingga larut malam. Sebentar berganti posisi berbaring,sebentar terkurap. Terduduk, terlentang lagi. Hhh..apanya yang salah, jika mencintai seseorang. Toh ini bukan cinta terlarang, bukan? Aku menyampaikan tanya pada langit-langit ruang tamu. Dan lagi-lagi, hanya sunyi.
***
Di
hari kali pertama aku tahu Bintang terlahir dari seorang wanita
tunasusila, aku tergugu. Ibunya bekerja malam di tempat yang tak jauh
dari perkampungan di pelosok Kalimantan Barat. Kampung Cempedak. Aku tak
pernah sadar jika kampung yang kuhuni telah menyimpan banyak wanita
kupu-kupu.
Petang itu ibu mendapati seorang anak
gadis di remang lampu pojok jalan buntu dengan seorang lelaki. Ibu
menyadari tingkah gila lelaki -yang ternyata juga pembeli wanita malam-
tega ingin merengkuh kegadisannya yang masih sangat belia. Dengan cepat
ibu melempari lelaki bajingan itu dengan bebatuan pinggir jalan.
Pantas saja Bintang selalu menomer satukan ibu. Sebab, ia merasa telah berhutang padanya.
Dan
seakan ribuan belati tepat menikam ulu hati, sewaktu mendengar ibu
mengatakan ayah lah penyabab semua itu. Si germo yang telah menjebak
para gadis, termasuk ibunya.
Bintang mengetahuinya
beberapa hari sebelum purnama kelima tiba. Ibu mengirimkan sebuah surat
untuk membeberkan kenyataan tentang ayah tanpa sepengetahuanku. Ibu
sudah tak sanggup menyimpan rahasia terlalu lama padanya.
Semenjak itulah, semua menjadi hening. Aku
menyngaja segera kembali dari Jakarta untuk menunggu dan menemuinya.
Tetapi dengan kenyataan seperti ini membuat jalanku semakin sulit.
Sudah
kuhantar ribuan maaf pada gadis purnama itu. Sebab, tak pernah tahu
sudah sejak lama ia hidup tersiksa di penampungan yang menjijikkan
akibat ulah ayah. Namun tak satupun permintaan maafku punya kepastian.
Mungkin karena permintaan maaf itu terlampau sederhana, hanya berbekal
sederet tulisan saja.
“Sudah malam
keberapa sekarang sejak purnama pergi? Aku semakin lelah menghitung
hari. Sungguh, bukan karena aku tak sanggup menunggumu berbaik hati
memaafkan kesalahan ayah. Sebab aku tak sanggup menuai rindu, untuk
menjumpaimu.”
Hening.
“Tak bisakah jika kita menjauhkan masa lalu, aku mencintaimu.”
Hening.
Hening.
Hening.
***
Ini
purnama ke 20. Sudah 20 purnama kujejaki di pelosok kampung Cempedak.
Sendiri. Sebenarnya berdua, bersama ibu yang sudah semakin senja.
Bintang tak pernah kembali, entah, mungkin ia masih marah pada kami.
Telah begitu lama menyimpan rahasia besar tentang siapa lelaki biadab
yang membuatnya lahir dari rahim seorang wanita tanpa ayah.
“Kau sudah berumur Wisnu. Ibu rindu menimang cucu. Kapan kau akan membawa kekasih hatimu kemari?”
Aku
memijat ibu yang berbaring di atas dipan. Tak mampu kujawab pertanyaan
itu. Sebab, kekasih hatiku tak pernah berubah sejak dulu.
“Apa kau masih menunggu Bintang, Nak?” Aku hanya tersenyum kecut.
Maafkan
aku ibu, aku benar-benar tak bisa menjawab. Bukan karena aku tak ingin
mengiyakan pertanyaan itu. Tetapi kebenaran itu, telah menyakitiku
selama belasan tahun. Dan kini kebenaran itu pun hampir membunuhku.
Untunglah
percakapan bersegera terhenti. Ibu telah terlelap. Aku menuju balkon
rumah, menemui purnama yang sudah duduk manis di langit.
Hei,
sekarang langit juga di penuhi bintang-bintang. Kalau kau masih di
sini, kau pasti akan membuat ekspresi itu. Dengan decak kagum yang tak
henti-henti. Bahkan sampai kau bawa hingga ke alam mimpi. Desahku pada keheningan.
Kutatap
benda kecil yang telah lama menghubungkanku dengan si pemilik senyum
manis itu. Sudah hampir 2 tahun semenjak Bintang memilih untuk kuliah di
Jawa. Ibu benar, ia gadis cerdas. Ia telah berlabuh di sana sendiri,
tanpa bantuan sepeserpun dari kami. Beasiswa yang benar-benar mebumbung
tinggi impiannya.
“Aku merindukanmu.”
Kututup mataku sejenak. Ah, ini benar-benar kenyataan terpahit di umur yang sudah hampir kepala tiga.
Benda
mungil ini tiba-tiba bergetar. Aku terkejut. Melihat namanya terpampang
manis di layar kuning itu. Gadis itu membalas setelah sekian lama.
Tanpa ba bi bu, aku membuka dan membacanya dengan hati menggebu.
“Kak, sudah terima surat dari Bintang kan? Maafkan, Bintang sudah menikah.”
Aku
ambruk. Bukan karena kenyataan itu. Aku jelas telah menerima surat
darinya beserta tiket ke Jawa yang terselip di dalam sejak 5 hari yang
lalu. Ia meminta kami datang, tetapi aku tak ingin memberitahukan soal
ini pada ibu. Aku terlampau takut menghadapi kenyataan.
Aku
telah benar-benar mati oleh perasaanku sendiri. Menangis tersedu di
balkon, tanpa malu pada ribuan bintang dan purnama yang menyaksikan
dengan tatapan masygul.
“Ada apa Wisnu?”
Ibu
terbangun mendengar isak tangisku, bergegas menghampiri dan memeluk
erat. Aku hanya mendengar samar ibu mengambil benda kecil itu. Mendesah,
kemudian mendekapku kian erat.
“Nak, ibu tak ingin
percaya karma. Tetapi malam ini, apakah karma telah jatuh padamu? Ayahmu
yang telah begitu kejam menjajakan banyak cinta tanpa peduli tentang
luka mereka dulu. Sekarang kau, anak ibu justru tersakiti oleh satu
cinta. Satu cinta saja.”
Ini malam terakhir aku
menyukai purnama, Bintang. Seharusnya sejak dulu aku tak perlu
menemanimu untuk melihat purnama. Sebab pepatah jepang itu benar, aku
tak bisa berhenti melihat wajahmu disana.
Dan sejak dulu, sebaiknya aku tidak mencintaimu. Ujarku lirih, selaksa angin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar